Harga Rp. 85.000 - Rp. 150.000 (Bebas Pajak) DPP Nilai Lain Rp. 0 DPP PPh Rp. 85.000 - Rp. 150.000 PPN 12% Rp. 0
Negosiasi harga dapat dilakukan di Keranjang Belanja.SKU | : | BPM-00003 |
Tag PPN | : | Buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat |
Status Produk | : | Segel |
Kategori | : | Jenjang SMA/MA - SMK/MAK |
Merk | : | BULANDU |
Buatan Indonesia | : | Ya |
UMKM | : | Ya |
Panjang | : | 0 cm |
Lebar | : | 13 cm |
Tinggi | : | 19 cm |
Berat | : | 150 gram |
Penulis : Reza Adeputra Tohis
Tebal : 160 halaman
Tahun Terbit : 2023
Dimensi : 13 x 19 cm
ISBN : 978-623-09-6478-7
Penerbit : BULANDU
Kategori : Nonfiksi – Sosial Politik
Blurb :
Hantu-Hantu Dekonstruksi adalah perjalanan pemikiran yang, menghubungkan warisan filosofis Jacques Derrida dengan epos petualangan Monkey D. Luffy dari One Piece. Dalam buku ini, Derrida, dengan konsep dekonstruksinya, dihidupkan kembali sebagai "hantu" yang terus menghantui batas-batas pemikiran tradisional. Melalui dekonstruksi, Derrida membongkar oposisi biner yang menjadi fondasi filsafat Barat, mengungkap bahwa makna selalu terkontaminasi oleh yang lain, tak pernah absolut.
Namun, bagaimana jika semangat dekonstruksi itu tidak hanya berhenti pada teks, tetapi merasuki dunia fiksi dan realitas kita? Melalui sosok Luffy, seorang manusia karet yang menghancurkan absolutisme di berbagai bentuknya—teologis, politik, hingga sosial—buku ini menyoroti bagaimana dekonstruksi dapat menjadi kekuatan perlawanan yang terus hidup. Dari pertempuran melawan Dewa Enel hingga penghancuran simbol keadilan absolut di Enies Lobby, Luffy menjadi representasi modern dari perlawanan terhadap dogma, merayakan pluralitas dan kebebasan.
Dengan pendekatan yang menggabungkan filsafat, sastra, dan budaya pop, Hantu-Hantu Dekonstruksi menantang pembaca untuk melihat bahwa perjuangan melawan absolutisme adalah proses tanpa akhir. Hantu-hantu itu akan terus gentayangan—di teks, di sejarah, bahkan di kehidupan sehari-hari—memaksa kita untuk mendekonstruksi kembali apa yang kita anggap benar. Bisakah kita benar-benar mengusir hantu-hantu itu, atau justru belajar hidup berdampingan dengan mereka?